Tidak mudah membentuk karakter bangsa. Diperlukan etos kerja yang didukung semangat disiplin tinggi. Dan, banyak cara untuk membentuk karakter bangsa. Salah satunya melalui pembelajaran sejarah. Dengan belajar sejarah kita dapat mengetahui nilai atau pesan yang hendak disampaikan. Namun, kondisi kekinian, kita justru menjadi bangsa yang mudah lupa akan sejarah bangsanya. Sejarah dianggap barang kuno, usang, dan ketinggalan jaman. Belajar sejarah selama ini dianggap membosankan. Hal ini bisa terjadi karena sejak dini kita diajari sejarah hanya terpaku pada nama, lokasi, dan tahun peristiwa. Ini pun dengan cara dihafal. Suatu kekeliruan fatal dalam dunia sosial.
Kurikulum sejarah dalam sistem pendidikan kita memang masih dianggap sebelah mata dibanding pelajaran lainnya. Peserta didik hanya mengetahui sejarah sebatas peristiwa di masa lalu tanpa perlu mengetahui nilai dan makna di balik kejadian tersebut. Sejarah dianggap tidak memiliki korelasi terhadap apa yang kita kerjakan saat ini maupun bagian dari rencana masa depan. Mengapa belajar sejarah menjadi membosankan? Ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, terutama sejak orde baru, yang memasukkan unsur politik ke dalam pembelajaran sejarah. Sejarah tidak lagi berdiri sendiri, tapi sudah dipengaruhi kebijakan politik dengan tujuan mengamankan kepentingan penguasa. Sejatinya, penguasa sangat sadar, jika generasi muda belajar sejarah dengan sungguh-sungguh, maka dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Oleh karena itulah, berbagai peristiwa sejarah dipolitisir dengan mengaburkan narasi peristiwa sesungguhnya. Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah merangkul sejarawan untuk menuliskan narasi sejarah sesuai selera penguasa. Beberapa ciri historiografi sejarah versi penguasa adalah, pertama, mengedepankan aktor sejarah yang berasal dari kalangan penguasa. Perubahan dalam sejarah hanya muncul dari kelompok penguasa. Rakyat kecil sebatas pelengkap saja. Versi sejarah seperti inilah yang diprotes oleh sejarawaan Sartono Kartodirjo, yang menyebutkan wong cilik juga bisa melahirkan sejarah seperti yang ia tuliskan dalam Pemberontakan Petani Banten (1888).
Kedua, monopoli kebenaran. Sejarah pesanan penguasa menabukan adanya perbedaan sudut pandang penulisan sejarah. Seperti historiografi peristiwa G 30 S yang menurut orde baru diotaki secara tunggal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dan ini bertahan sampai sekarang. Padahal, sudah banyak tulisan mengenai peristiwa ini yang menyebutkan keterlibatan pihak lain, termasuk Soeharto. Ketiga, historiografi sejarah buatan penguasa tidak hanya sebagai bahan bacaan semata, tetapi juga digunakan sebagai media indoktrinasi yang didukung dengan bantuan media elektronik seperti pembuatan film. Kita tentunya sudah biasa menonton fim G 30 S PKI setiap bulan September kala Soeharto masih berkuasa.
Keempat, teks sejarah versi penguasa bertujuan untuk “mencuci” otak alam pikiran masyarakat. Di mana status quo akan aman ketika kondisi sosial masyarakat bisa dikendalikan. Yaitu dengan menanamkan rasa benci atau permusuhan terhadap kelompok lain yang dianggap bersalah atau bertanggung jawab atas suatu peristiwa sejarah. Buku-buku yang memuat PKI dan film G 30 S PKI, terbukti efektif menimbulkan rasa permusuhan masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya yang terlebih dahulu sudah dicap sebagai anggota atau simpatisan PKI. Mereka dikucilkan bahkan tidak memiliki akses hidup seperti masyarakat lainnya. Padahal, banyak diantara mereka yang tidak tahu-menahu soal peristiwa kelam tersebut.
Demikian juga dengan mempelajari kesuksesan di balik peristiwa sejarah dapat digunakan sebagai bahan untuk menyusun rencana di masa depan. Dengan kata lain, sejarah amat berguna untuk menjalani hidup di masa kini dan menyusuri kehidupan di masa yang akan datang. Sudah terbukti, mendelegitimasi sejarah berdampak fatal bagi kita. Dalam konstelasi sosial-politik kekinian, banyak contoh kebijakan elite politik yang ditolak masyarakat karena tidak belajar sejarah. Sebagai contoh, studi banding anggota dewan ke luar negeri yang bernilai miliran rupiah namun hasilnya tidak signifikan dirasakan rakyat.
Belajar sejarah juga dapat menempa kepemimpinan seseorang, termasuk kepemimpinan nasional. Mengapa Soekarno begitu dikagumi? Karena ia paham benar bagaimana perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan sampai masa kolonial. Soekarno sadar betul dengan belajar sejarah, ia menjadi tahu apa yang menjadi kesulitan, masalah dan keinginan rakyat. Ia menjadi tahu bagaimana memimpin bangsanya agar bisa merdeka dari penjajahan kolonial Belanda dan menjadi pemain utama politik dunia di tengah-tengah digdaya AS dan Uni Soviet. Soekarno tidak mengandalkan politik pencitraan seperti kebanyakan elite politik sekarang ini. Ia tidak perlu memesan lembaga survei untuk mengetahui tingkat popularitasnya di mata rakyat. Oleh karenanya, kepada elite politik nasional dan lokal, jika ingin berhasil dalam kepemimpinannya, belajar sejarah adalah syarat mutlak. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (jasmerah) seperti yang diamanatkanSoekarno.
Sumber : www.kompasiana.com
Kurikulum sejarah dalam sistem pendidikan kita memang masih dianggap sebelah mata dibanding pelajaran lainnya. Peserta didik hanya mengetahui sejarah sebatas peristiwa di masa lalu tanpa perlu mengetahui nilai dan makna di balik kejadian tersebut. Sejarah dianggap tidak memiliki korelasi terhadap apa yang kita kerjakan saat ini maupun bagian dari rencana masa depan. Mengapa belajar sejarah menjadi membosankan? Ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, terutama sejak orde baru, yang memasukkan unsur politik ke dalam pembelajaran sejarah. Sejarah tidak lagi berdiri sendiri, tapi sudah dipengaruhi kebijakan politik dengan tujuan mengamankan kepentingan penguasa. Sejatinya, penguasa sangat sadar, jika generasi muda belajar sejarah dengan sungguh-sungguh, maka dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Oleh karena itulah, berbagai peristiwa sejarah dipolitisir dengan mengaburkan narasi peristiwa sesungguhnya. Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah merangkul sejarawan untuk menuliskan narasi sejarah sesuai selera penguasa. Beberapa ciri historiografi sejarah versi penguasa adalah, pertama, mengedepankan aktor sejarah yang berasal dari kalangan penguasa. Perubahan dalam sejarah hanya muncul dari kelompok penguasa. Rakyat kecil sebatas pelengkap saja. Versi sejarah seperti inilah yang diprotes oleh sejarawaan Sartono Kartodirjo, yang menyebutkan wong cilik juga bisa melahirkan sejarah seperti yang ia tuliskan dalam Pemberontakan Petani Banten (1888).
Kedua, monopoli kebenaran. Sejarah pesanan penguasa menabukan adanya perbedaan sudut pandang penulisan sejarah. Seperti historiografi peristiwa G 30 S yang menurut orde baru diotaki secara tunggal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dan ini bertahan sampai sekarang. Padahal, sudah banyak tulisan mengenai peristiwa ini yang menyebutkan keterlibatan pihak lain, termasuk Soeharto. Ketiga, historiografi sejarah buatan penguasa tidak hanya sebagai bahan bacaan semata, tetapi juga digunakan sebagai media indoktrinasi yang didukung dengan bantuan media elektronik seperti pembuatan film. Kita tentunya sudah biasa menonton fim G 30 S PKI setiap bulan September kala Soeharto masih berkuasa.
Keempat, teks sejarah versi penguasa bertujuan untuk “mencuci” otak alam pikiran masyarakat. Di mana status quo akan aman ketika kondisi sosial masyarakat bisa dikendalikan. Yaitu dengan menanamkan rasa benci atau permusuhan terhadap kelompok lain yang dianggap bersalah atau bertanggung jawab atas suatu peristiwa sejarah. Buku-buku yang memuat PKI dan film G 30 S PKI, terbukti efektif menimbulkan rasa permusuhan masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya yang terlebih dahulu sudah dicap sebagai anggota atau simpatisan PKI. Mereka dikucilkan bahkan tidak memiliki akses hidup seperti masyarakat lainnya. Padahal, banyak diantara mereka yang tidak tahu-menahu soal peristiwa kelam tersebut.
Makna sejarahBelajar sejarah itu sangat penting. Secara etimologi, sejarah berasal dari bahasa Arab, syajaratun, yang berarti pohon. Kemudian berkembang secara luas yang berarti sebagai peristiwa di masa lalu yang berdampak besar terhadap perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik masyarakat. Dari definisi ini saja, kita sudah seharusnya dituntut untuk mendalami ilmu sejarah. Karena sejarah mengajarkan pengalaman dan kebajikan terhadap umat manusia. Kita dapat mengetahui kesalahan-kesalahan manusia di masa lalu atau mengetahui kunci keberhasilan pendahulu kita. Mengetahui kelemahan dan kekurangan di masa silam berguna agar kita tidak lagi mengulanginya di masa sekarang.
Demikian juga dengan mempelajari kesuksesan di balik peristiwa sejarah dapat digunakan sebagai bahan untuk menyusun rencana di masa depan. Dengan kata lain, sejarah amat berguna untuk menjalani hidup di masa kini dan menyusuri kehidupan di masa yang akan datang. Sudah terbukti, mendelegitimasi sejarah berdampak fatal bagi kita. Dalam konstelasi sosial-politik kekinian, banyak contoh kebijakan elite politik yang ditolak masyarakat karena tidak belajar sejarah. Sebagai contoh, studi banding anggota dewan ke luar negeri yang bernilai miliran rupiah namun hasilnya tidak signifikan dirasakan rakyat.
Belajar sejarah juga dapat menempa kepemimpinan seseorang, termasuk kepemimpinan nasional. Mengapa Soekarno begitu dikagumi? Karena ia paham benar bagaimana perjalanan sejarah bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan sampai masa kolonial. Soekarno sadar betul dengan belajar sejarah, ia menjadi tahu apa yang menjadi kesulitan, masalah dan keinginan rakyat. Ia menjadi tahu bagaimana memimpin bangsanya agar bisa merdeka dari penjajahan kolonial Belanda dan menjadi pemain utama politik dunia di tengah-tengah digdaya AS dan Uni Soviet. Soekarno tidak mengandalkan politik pencitraan seperti kebanyakan elite politik sekarang ini. Ia tidak perlu memesan lembaga survei untuk mengetahui tingkat popularitasnya di mata rakyat. Oleh karenanya, kepada elite politik nasional dan lokal, jika ingin berhasil dalam kepemimpinannya, belajar sejarah adalah syarat mutlak. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (jasmerah) seperti yang diamanatkanSoekarno.
Sumber : www.kompasiana.com